HUKUM MAKE UP ATAU BERHIAS

berhias yang diperbolehkan dalam islam
hukum berhias


HUKUM MAKE UP ATAU BERHIAS 

Ditulis oleh:
Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy Al-Minangkabawy -
-Semoga Alloh mengampuni dosa dan kesalahannya-


بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين، وبه نستعين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين، وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد

Make up atau berhias ini bukan merupakan sesuatu yang baru lagi di kalangan para wanita. Karena sudah semakin banyaknya wanita zaman ini yang menghias dirinya untuk tampil lebih cantik dan mempesona. Namun, bagaimana para ulama memandang hal ini? Mari kita cermati bersama tinjauan syar’i nya.


Sebelum masuk ke pembahasan make up, kita lihat singgung sedikit permasalahan terkait hiasan dengan pewarnaan kulit. Ada dua jenis perkara yang dahulu dikenal di kalangan shohabiyyat (para shohabat yang wanita) dan sampai sekarang dipakai sebagian wanita terlebih wanita-wanita arab.

1. Celak

Dalam hadits panjang tentang haji Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, dari riwayat Jabir Rodhiyallohu ‘Anhubeliau berkata: “’Ali datang dari Yaman membawa unta (untuk Hadyi) milik Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, dia mendapatkan Fathimah Rodhiyallohu ‘Anha termasuk orang-orang yang telah selesai dari ihramnya. Dia memakai pakaian yang dicelup dan memakai celak. Maka ‘Ali mengingkari hal tersebut. Fathimah berkata: “Sesungguhnya ayahku yang menyuruhku begini”.

Jabir berkata: “Dahulu ketika di Irak, ‘Ali bercerita: “Maka aku pergi mendatangi Rosululloh dengan sesuatu yang bisa membuat Rosululloh menegur Fathimah atas perbuatannya, sekaligus meminta fatwa kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam atas perkara yang aku ceritakan kepada beliau. Aku mengabarkan bahwa aku telah mengingkari hal tersebut, maka Rosululloh mengatakan: “Dia (Fathimah) benar, dia benar”. (HR Muslim)

Al-Lajnatud Daa-imah (Syaikh Ibnu Bazz, Syaikh ‘Abdurrozzaq ‘Afify dan Syaikh ‘Abdulloh Ghudayyan) ditanya: Banyak wanita di Mesir meletakkan celak di matanya. Aku katakan kepada mereka: “Sesungguhnya celak jika dipasang untuk hiasan maka hukumnya haram”. Mereka berkata kepadaku: “Sesungguhnya hal tersebut adalah sunnah”. Apakah ini benar?

Jawab: Penggunaan celak disyari’atkan. Akan tertapi tidak boleh bagi seorang wanita menampakkan perhiasannya baik celak atau yang lain kepada selain suami dan mahramnya, berdasarkan firman Alloh Ta’ala:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ

“dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka …”. (QS An-Nuur 31)

Wabillahit Taufiiq. Wa Shollallohu ‘Ala Nabiyyina wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. [Fatawa Al-Lajnatud Daa-imah no 10823 pertanyaan kedua, Gel. 1 jilid 17/ 128]

2. Khidhob

Al-Harawy mengatakan: “Al-Laits mengatakan setiap warna yang diubah warnanya menjadi kemerahan, dinamakan “telah dikhidhob”. [Tahdzibul Lughoh 7/55]

Atau setiap yang diubah warnanya dengan merah ataupun kuning [Lisanul Arab 1/357]

Karena itu dalam kisah Ya’juj dan Ma’juj, ketika mereka menyangka telah membunuh seluruh penduduk bumi, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

قَالَ قَائِلُهُمْ: هَؤُلَاءِ أَهْلُ الْأَرْضِ، قَدْ فَرَغْنَا مِنْهُمْ، بَقِيَ أَهْلُ السَّمَاءِ، ثُمَّ يَهُزُّ أَحَدُهُمْ حَرْبَتَهُ ثُمَّ يَرْمِي بِهَا إِلَى السَّمَاءِ، فَتَرْجِعُ إِلَيْهِ مُخْتَضِبَةً دَمًا، لِلْبَلَاءِ وَالْفِتْنَةِ

“(Salah seorang) pembicara mereka mengatakan: “Mereka adalah penduduk bumi dan kita telah menyelesaikan mereka, tersisa penduduk langit. Lantas salah seorang diantara mereka mengayunkan tombak pendeknya dan melemparkannya ke langit. Kemudian tombak tersebut kembali dalam keadaan berkhidhob dengan darah, sebagai ujian dan fitnah”. (HR Ahmad dari Abu Sa’id Al-Khudry dengan sanad hasan)

Khidhob seringnya untuk pengubahan warna uban, namun pada wanita khidhob juga dilakukan untuk mewarnai kulit tangan dan kaki mereka sebagai hiasan.

Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Sesungguhnya didatangkan kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam seorang bencong yang telah mengkhidhob kedua tangan dan kedua kakinya. Maka NabiShollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:

مَا بَالُ هَذَا؟

“Ada apa dengan orang ini?”.

Dikatakan kepada beliau: “Wahai Rosululloh, dia meniru-niru perempuan”. Lalu beliau memerintahkannya untuk diasingkan ke An-Naqi’. Orang-orang berkata kepada beliau: “Tidakkah kami membunuhnya?”. Beliau berkata:

إِنِّي نُهِيتُ عَنْ قَتْلِ الْمُصَلِّينَ

“Sesungguhnya aku dilarang membunuh orang yang menunaikan sholat”. (HR Abu Daud, dishohihkan Syaikh Al-Albany)

Hadits ini menunjukkan bahwa sudah merupakan sesuatu yang masyhur di kalangan shohabat kalau wanita menghiasi kaki dan tangannya dengan khidhob.

Ummul Mukminin ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha ditanya tentang boleh tidaknya wanita berkidhob dalam masa haid, maka dia menjawab:

قد كنا عند النبي صلى الله عليه وسلم ونحن نختضب فلم يكن ينهانا عنه

“Dahulu kami di sisi Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan kami berkhidhob, sementara beliau tidak melarangnya”. (HR Ibnu Majah dishohihkan Syaikh Al-Albany)

Dimaklumi bahwa yang diinginkan ‘Aisyah dengan khidhob adalah pewarna tangan dan kaki, bukan pewarna uban. Karena ketika Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam meninggal, Ummul Mukminin masih belia. Bahan yang mereka pakai untuk berkhidhob adalah inai, karena itu mereka memperhatikan waktu pemakaiannya sehingga tidak mengganggu wudhu’ dan sholat mereka.

Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan:

نساؤنا يختضبن أحسن خضاب، يختضبن بعد العشاء، وينزعن قبل الفجر

“Para wanita kami memasang khidhob dengan sebaik-baiknya. Mereka berkhidob setelah ‘isya dan melepaskannya sebelum fajar”. (Atsar ini diriwayatkan Imam Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shohih)

Dalam riwayat lain beliau Rodhiyalohu ‘Anhu mengatakan:

َمَّا نِسَاؤُنَا فَيَخْتَضِبْنَ إِذَا صَلَّيْنَ الْعِشَاءَ، ثُمَّ يُطْلِقْنَ عَنْ أَيْدِيَهُنَّ لِلصُّبْحِ، ثُمَّ يُعِدْنَ عَلَيْهَا إِلَى صَلَاةِ الظُّهْرِ فَأَحْسَنَّ الْخِضَابَ وَلَا يَمْنَعْهُنَّ الصَّلَاةَ

“Adapun para wanita kami, maka mereka memasang khidhob apabila mereka telah selesai sholat ‘isya. Kemudian melepaskannya dari tangan-tangan mereka untuk sholat shubuh. Kemudian mereka kembali memasangnya sampai sholat zhuhur sehingga mereka mereka bisa membaguskan pemakaian khidhobdan tidak menghalangi sholat mereka”. (Atsar ini diriwayatkan Imam ‘Abdurrozzaq dengan sanad yang shohih)

Yang ingin kita petik dari hadits dan atsar-atsar di atas bahwasanya pewarnaan kulit dalam hiasan wanita, memiliki asal dalam syari’at ini selama bukan bersifat permanen (seperti tatto), sebagaimana telah lewat dalam pembahasan terdahulu.

Demikian juga dari atsar-atsar tersebut terlihat bagaimana cerdasnya para wanita salaf dalam mengatur agendanya sehingga tidak melalaikan kewajibannya. Bandingkan dengan wanita sekarang, diantara mereka memakai perwarna yang menghalangi air menyentuh kulit sehingga tidak sah wudhu’nya bahkan sebagian mereka menjama’ sholatnya untuk mempertahankan make up-nya, wallohul musta’aan.

PEMERAH PIPI DI KALANGAN MUSLIMIN TERDAHULU

Sumber pembahasan yang bersinggungan dengan masalah ini bisa didapatkan di banyak kitab-kitab ulama terdahulu dari kalangan Hanabilah maupun Syafi’iyyah. Adapun di kitab-kitab mazhab yang lain sejauh ini belum kami temukan pembahasan terkait, wallohul Musta’an.

1. Pembahasan Masalah Pemerah Pipi Di Mazhab Hanabilah

Masalah ini mereka gandengkan dengan masalah pengeritingan rambut, sebagian ulama Hanabilah ada yang menghukuminya dengan tadlis.

Namun larangan mereka tidak terkait tentang pembahasan hiasan yang singgung. Pembahasan ini terkait dengan penjualan budak wanita. Dan hukum tadlis tersebut juga bukan mereka tetapkan secara mutlak. Perkara tersebut mereka hukumi tadlis dalam kondisi apabila pemilik budak sengaja melakukan perkara tersebut untuk diperlihatkan ke calon pembeli karena rambut yang keriting dan pipi yang merah menunjukkan kekuatan pada budak tersebut. Sama halnya dengan menunggu menggumpalnya susu di dadanya kemudian menawarkannya kepada calon pembeli dalam kondisi tersebut. [Lihat: Al-Kaafi 2/48 dan Al-Mughny 7/217 karya Ibnu Qudamah (wafat 620), Al-Mubdi’ fi Syaril Muqni’ 4/80 karya Ibnu Muflih (wafat 884), Matholib Ulin Nuha 5/105 karya Ar-Ruhaibany (wafat 1243) dll]

Adapun jika pemerah pipi tersebut dilakukan bukan dengan tujuan mengibuli calon pembeli maka ada dua pendapat dalam mazhab, sekalangan tetap mengatakan tadlis sementara yang lain mengatakan tidak.[Lihat Al-Inshof fi Ma’rifatir Rojih Minal Khilaf 4/399 karya Al-Mardawy (wafat 885)]

2. Pembahasan Masalah Pemerah Pipi Di Mazhab Syafi’iyyah.

Disamping pembahasan yang sama dengan yang dibahas di kitab-kitab Hanabilah, pada kebanyakan kitab ulama Syafi’iyyah juga membahas permasalahan ini dari sisi yang terkait dengan hiasan wanita. Pemerah tonjolan pipi yang mereka pakai ketika itu adalah daun pacar.

Secara umum mereka membagi permasalahan ini kepada kedua kondisi:

Pertama, apabila perbuatan tersebut diizinkan suami atau pemilik budak perempuan, karena merekalah yang berhak untuk perkara tersebut.

Kedua, apabila perbuatan tersebut tidak diizinkan suami atau pemilik budak perempuan.

Dalam kedua kondisi ini para ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan ada yang melarang.

Alasan pelarangan ada dua: Hak suami ataupun tuan akan hiasan seorang wanita dan alasan pengubahan ciptaan Alloh.

Alasan pertama adalah cabang dari alasan pelarangan bahwa perkara tersebut adalah pengubahan ciptaan Alloh. Bagi yang berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah pengubahan ciptaan Alloh, mereka berbeda pendapat mengenai perlu tidaknya izin untuk itu. Mayoritas ulama Syafi’iyyah tidak menganggap bahwa pemerahan pipi tergolong pengubahan ciptaan Alloh.

Karena itulah perselisihan mereka pada kondisi pertama sangat lemah bahkan bisa dikatakan terabaikan.

Imam Abul Ma’aly Al-Juwainy Rahimahulloh (wafat 478) mengatakan: Sangat jauh kemungkinan adanya perselisihan dalam pemerahan wajah dengan izin suami, karena tidak adanya khabar (dalil yang melarang pemerahan pipi). Wajah bisa saja memerah karena faktor tertentu, seperti marah, gembira, lelah ataupun cepat dalam berjalan. [Nihayatul Mathlab fi Diroyatil Mazhab 2/319]

Bahkan Ar-Rofi’iy Rahimahulloh (wafat 623) mengatakan perkara tersebut boleh tanpa ada perselisihan. Sementara An-Nawawy menyatakan bahwa pembolehan pemereah pipi jika dilakukan seizin suami atau tuan adalah pendapat mazhab Syafi’i. [Fathul ‘Aziz bi Syarhil Wajiz 4/33, Roudhotul Tholibin 1/276 karya An-Nawawy]

[Lihat juga: Tuhfatul Muhtaj 2/128 karya Ibnu Hajar Al-Haitamy, Fathul Wahhab 1/201 karya Al-Qodhi Zakariya Al-Anshory]

PENGUBAHAN WARNA KULIT SECARA PERMANEN

Sejauh ini penulis tidak mendapatkan fatwa para ulama khusus tentang masalah ini, melainkan beberapa fatwa Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh di beberapa rekaman suara. Wallohul Musta’an.

Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh ditanya: Tersebar di kalangan masyarakat khususnya wanita, penggunaan sebagian bahan kimia dan ramuan alami yang mengubah warna kulit. Dimana warna kulit yang coklat menjadi putih setelah pemakaian bahan kimia dan ramuan alami tersebut. Apakah pada praktek ini ada larangan syar’i? Dimaklumi bahwasanya sebagian suami memerintahkan istrinya menggunakan bahan kimia dan ramuan alami tersebut dengan alasan bahwa wajib bagi seorang wanita berhias untuk suaminya. Berikanlah kami fatwa semoga anda diberi pahala.

Jawab: Apabila perubahannya permanen maka perbuatan tersebut haram bahkan termasuk dosa besar. Karena hal tersebut lebih parah dari pengubahan ciptaan Alloh yang diakibatkan tatto… -Sampai perkataan beliau-

Apa yang disebutkan dalam pertanyaan, adalah lebih parah dari pengubahan ciptaan Alloh Ta’ala yang datang di hadits. Adapun jika pengubahan warna tidak permanen seperti inai dan sejenisnya, maka tidak mengapa. Karena benda-benda tersebut akan lenyap sebagaimana celak, pemerah bibir dan kedua pipi. Maka wajib mewaspadai dan memperingatkan orang dari pengubahan ciptaan Alloh, serta menyebarkan peringatan tersebut di tengah-tengah umat. Agar kejelekan tidak berkembang dan besar, sehingga susah untuk rujuk dari perbuatan tersebut. [Majmu’ul Fatawa wa Rosa’il Al-‘Utsaimin 17/20-21] Dengarkan juga: [Fatawa Nuur ‘Alad Darb Kaset no 360 side a]

Beliau Rahimahulloh Ta’ala ditanya: Apa hukum menggunakan lotion ataupun minyak untuk memutihkan kulit atau menghilangkan jerawat dan kondisi yang tidak normal di kulit?

Jawab: Adapun yang pertama (memutihkan kulit) maka tidak boleh. Yakni tidak boleh menggunakan sesuatu apapun untuk mengubah warna kulit, karena hal tersebut lebih parah dari tatto yang pelakunya dilaknat. Adapun untuk menghilangkan jerawat dan yang sejenisnya maka tidak mengapa, karena hal ini termasuk pengobatan penyakit, dan pengobatan penyakit hukumnya boleh.

Terdapat perbedaan antara apa-apa yang ditujukan untuk keindahan dengan yang ditujukan untuk menghilangkan cacat. Yang pertama tidak boleh apabila bersifat permanen, sementara yang kedua boleh.[Fatawa Nuur ‘Alad Darb Kaset no 369 side b] Dengarkan juga: [Fatawa Nuur ‘Alad Darb Kaset no 289 side b]

Beliau Rahimahulloh Ta’ala ditanya: Apa hukum krim pengelupas lapisan kulit yang dijumpai di pasar-pasar. Apa hukum menggunakan jenis krim semisal ini?

Jawab: Aku tidak tahu apakah krim ini adalah krim yang fungsinya melembutkan kulit dan menghaluskannya tanpa mengubah warna maka yang seperti ini tidak mengapa karena terhitung alat-alat kecantikan. Adapun jika terjadi perubahan pada kulit dari satu warna ke warna yang lain maka perkara ini haram karena perbuatan ini lebih parah dari tatto yang pelakunya dilaknat oleh NabiShollallohu ‘Alaihi wa Sallam. [Fatawa Nuur ‘Alad Darb Kaset no 363 side b]

Beliau Rahimahulloh Ta’ala ditanya: Seorang cewek terdapat di wajahnya bercak-bercak hitam kecil seperti tahi lalat yang banyak, antara enam sampai delapan titik yang terpisah-pisah. Dia menanyakan apakah hukum menghilangkan bercak-bercak tersebut di rumah sakit dengan menggunakan laser atau metoda lain?

Jawab: Tidak mengapa baginya dalam menghilangkannya, karena dengan jumlah yang banyaknya sebagaimana disebutkan, tanpa diragukan membuat wajah tampak jelek yang membuat orang menghindar melihatnya. Kaidah dalam masalah ini: Apabila dengan tujuan keindahan maka hukumya haram, adapun untuk penghilangan cacat maka boleh. [Fatawa Nuur ‘Alad Darb Kaset no 14 side b]

PENGUBAHAN TAMPILAN WARNA KULIT DENGAN MAKE UP

Tak banyak fatwa yang penulis dapatkan seputar masalah ini, tapi setidaknya beberapa fatwa yang akan disebutkan bisa mewakili perselisihan pendapat yang ada dalam masalah ini dan bisa menjadi acuan untuk melihat mana yang lebih dekat dengan kebenaran.

Pendapat pertama adalah para ulama yang membolehkan.

Pendapat ini adalah pendapat para ulama Al-Lajnah Ad-Daa-imah yang terdiri dari: Syaikh Ibnu Baaz, Syaikh Abdurrozzaq ‘Afify, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud, Syaikh ‘Abdulloh bin Ghudayyan, Syaikh Sholih Al-Fauzan, Syaikh Sholih Alusy Syaikh, dan Syaikh Bakr Abu Zaid Ghofarohumullohu.

Al-Lajnah Ad-Da-imah ditanya tentang hukum wanita yang memakai make up pada wajahnya di depan para mahramnya.

Maka mereka (Syaikh bin Baaz, Syaikh Abdurrozzaq ‘Afify, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud) menjawab: “Boleh baginya berhias dengannya untuk suaminya dan menampakkannya di depan para mahramnya”. [Fatwa no 4962 soal pertama, Gel 1 Jilid 17/101-102]

Dalam kesempatan lain Al-Lajnah Ad-Da-imah (Syaikh Ibnu Baaz, Syaikh ‘Abdulloh bin Ghudayyan, Syaikh Sholih Al-Fauzan, Syaikh Sholih Alusy Syaikh, Syaikh Bar Abu Zaid) ditanya: “Didapatkan anak-anak gadis yang belum menikah memakai hiasan yaitu make up yang mereka pakai di wajah mereka. Apabila warna kulitnya kecoklatan maka dia menggunakan jenis yang agak putih, apabila kulitnya berwarna putih maka dia menggunakan make up sehingga warnanya agak coklat. Anak gadis itu juga memanjangkan pemakaian celak sehingga meluas dari kedua matanya yang bisa dilihat orang dari jauh. Dia memotong rambutnya bagian depan dan menjadikannya hiasan, atau jika rambutnya panjang maka dia memotongnya sampai kedua bahunya.

Berilah kami penjelasan apakah oleh perbuatan seperti itu atau tidak? Apakah orang yang melihatnya -sementara dia adalah penanggung jawab (orang tua atau yang menggantikan kedudukannya) anak gadis tersebut- berdosa, ataukah perbuatan tersebut boleh?

Jawab: “Tidak ada larangan bagi seorang perempuan berias dengan make up dan celak di wajahnya, serta memendekkan rambut selama tidak menyerupai wanita kafir. Disyaratkan juga dia menutup wajahnya dari laki-laki yang bukan mahramnya. Wa billahit taufiiq, Wa Shollallohu ‘Ala nabiyyina Muhammadin Wa Alihi Wa Shohbih”. [Fatwa no 15903 pertanyaan kedua, Gel 1, jilid 17/129]

Pendapat kedua adalah para ulama yang melarang pemakaiannya disebabkan bahaya dan dampak jelek yang ditimbulkannya.

Diantara ulama yang menyatakan alasan ini adalah Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin dan Syaikh Muqbil Ghofarohumullohu.

Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: “Make up -berdasarkan apa yang aku ketahui- membahayakan (wajah) wanita dalam masa yang panjang. Maka atas dasar ini tak semestinya dia menggunakannya kecuali setelah berkonsultasi dan meminta pendapat dokter”. [Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-‘Utsaimin 19/228]

Beliau Rahimahulloh, ketika ditanya tentang penggunaan pemerah bibir (lipstick) dan make up, beliau menjawab: “Pemerah bibir tidak apa-apa karena secara hukum asal (hiasan wanita) adalah halal sampai jelas alasan pengaharamannya. Pemerah bibir bukan sesuatu yang permanen sehingga bisa digolongkan ke jenis tato. Tato adalah memasukkan pewarna ke bawah kulit, dan itu adalah perbuatan yang haram bahkan tergolong dosa-dosa besar.

Akan tetapi jika terbukti bahwa gincu tersebut membahayakan bibir, membuatnya kering, menghilangkan kelembaban, maka dalam kondisi seperti ini terlarang pemakaiannya, aku telah dikabarkan bahwa terkadang bibir menjadi pecah-pecah akibat pemakainnya. Apabila ini terbukti maka sesungguhnya seorang insane dilarang untuk melakukan perbuatan yang membahayakannya.

Adapun make up maka kami melarangnya. Walaupun bisa menghiasi wajah suatu ketika, namun penggunaannya akan menimbulkan bahaya yang besar sebagaimana terbukti secara medis. Seorang wanita kalau menua tidak akan wajahnya akan berubah dengan perubahan yang tidak bermanfaat lagi make up atau selainnya.

Atas dasar tersebut maka kami menasehatkan kepada para wanita untuk tidak menggunakannya karena bahaya yang ditimbulkannya. [Majmu’atu As-ilatil Tahummul Usroh Al-Muslimah 35]

Adapun Syaikh Muqbil Rahimahulloh, pada awalnya beliau membolehkan pemakaian make up selama tidak menghalangi air dengan kulit wajah. [Qom’ul Ma’anid 584-585, Ghoratul Asyrithoh 2/465]

Namun kemudian pendapat beliau berubah setelah mengetahui dampak negative yang timbul dari penggunaan make up, beliau mengatakan: “Aku telah rujuk dari pembolehannya. Aku telah melihat artikel yang padanya terdapat penyebutan bahaya-bahaya yang besar. Aku telah rujuk, Jazakumullohu khoiron”.[Kaset: Daf’us Sujun ‘An As-ilati Nisa-i Syaiun]

Pendapat ketiga adalah para ulama yang melarang pemakaiannya disebabkan -menurut mereka- menggunakan make up termasuk perbuatan tasyabbuh (menyerupai) wanita kafir maupun wanita fasik dari kalangan muslimin.

Diantara yang berpendapat demikian adalah Syaikh Al-Albany dan Syaikh kami Jamil Ash-ShilwyGhofarohumallohu.

Syaikh Al-Albany Rahimahulloh ditanya terkait peralatan kecantikan, pertama hukum menjualnya, kedua hukum bagi istri dalam memakai alat kecantikan untuk suaminya.

Beliau Rahimahulloh menjawab: “Kalau susunan pertanyaan dibalik maka itu lebih baik, karena (hukum) bolehnya jual beli dibangun atas (hukum) bolehnya penggunaan. Apabila menggunakannya boleh maka jual belinya boleh, apabila pemakaiannya tidak boleh maka tidak boleh jual belinya.

Aku berpendapat bahwa menjual peralatan kecantikan yang dikenal sekarang, tidak boleh. Karena hal itu merupakan kebiasaan wanita kafir atau fasik dari kalangan muslimin. (Larangan) dibangun atas dasar (kondisi) ini dan atas dalil-dalil tentang larangan menyerupai orang kafir sebagaimana engkau ketahui.

Tambah lagi adanya pengubahan ciptaan Alloh ‘Azza wa Jalla. Maka aku tidak memandang bolehnya menggunakannya, maka lanjutannya aku juga tidak membolehkan jual belinya”. [Masa-il Nisa-iyyah Muhkhtaroh min Fiqhi Al-Allamah Al-Albany 154, sebagaimana dinukilkan di Al-Fatwa fi Ziinati binti Hawa 40]

Syaikh Jamil Hafizhohulloh menyebutkan alasan lain seperti: Bahaya yang ditimbulkan, membuang-buang harta, mengubah ciptaan Alloh, penipuan dan tadlis. [Lihat Qurrotu ‘Ainin 214-215]

RUMUSAN PERMASALAHAN

Dapat disimpulkan bahwa ada dua point penting yang menjadi poros perselisihan yaitu masalahtasyabbuh dengan wanita kafir atau fasik, serta masalah dampak yang membahayakan akibat penggunaan make up.

Adapun alasan membuang-buang harta, maka hal ini tidak bisa dipukul secara keseluruhan karena membelanjakan harta untuk hiasan yang wajar bukanlah pemborosan, dan make up mayoritasnya bukanlah tergolong sesuatu yang mewah dan mahal. Alasan ini bisa berlaku pada jenis yang diluar batas kewajaran.

Demikian juga alasan bahwa pemakaian make up termasuk perbuatan mengubah ciptaan Alloh dan tadlis,maka alasan ini lemah karena yang terjadi hanyalah pengubahan warna yang sifatnya temporer dan kentara, sama sekali tidak mengubah bentuk ciptaan baik bibir pipi dan lainnya, perkara ini sebagaimana pemakaian celak pada mata atau pemakaian inai pada tangan.

Karena itu kita hanya akan melanjutkan pembahasan pada dua point utama tersebut di atas:

1. Apakah amalan ini tergolong tasyabbuh dengan wanita kafir atau fasik?

Pendapat pertama jelas mengatakan bahwa make up berada dalam hukum asal hiasan wanita muslimah yaitu boleh. Hal ini berdasarkan firman Alloh Ta’ala:

قل من حرم زِينَة الله الَّتِي أخرج لِعِبَادِهِ والطيبات من الرزق

“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?”. (QS Al-A’raf 32)

Maka orang yang menyatakan secara asalnya tidak boleh bagi wanita muslimah memakai make up, dialah yang dituntut mengemukakan alasan.

Pemilik pendapat kedua pada dasarnya mencocoki pendapat ini, karena sesuai kaidah dalam penerapan hukum di syari’at ini: “Al-Hukmu Yaduuru Ma’a ‘Illatihi”, yakni hukum-hukum itu berjalan sesuai dengan keberadaan ‘illah (sebab hukum)nya, apabila ‘illahnya tidak ada maka hukumnya tidak ada. Ketika mereka menetapkan yang menjadi ‘illah larangan adalah bahaya, maka konsekwensinya apabila bahaya bisa dihindari maka perkara ini tidak terlarang.

Oleh karena itu Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: “Adapun make up yang dipakai wanita untuk berias maka kami menilainya tidak mengapa karena hukum asal (hiasan wanita) adalah boleh. Kecuali jika terbukti bahwa penggunaan make up tersebut membahayakan muka di masa mendatang, maka dalam kondisi ini pemakaiannya dilarang dalam rangka menolak kerusakan”. [Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-‘Utsaimin 12/290]

Adapun pemilik pendapat ketiga menilai bahwa make up itu sendiri tidak boleh dipakai oleh wanita muslimah karena berasal dari amalan wanita kafir ataupun fasik. Alasan ini jelas terlihat dari perkataan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh: “Tidak boleh bagi orang yang tidak berhijab apalagi yang mengenakan hijab, menggunakan make orang kafir, make up orang fasik. Kapan kalian mengenal hiasan perempuan yang dinamakan dengan sesuatu yang tidak diturunkan Alloh penjelasan Alloh tentangnya. Ini adalah bahasa yang tidak kita ketahui, tidak juga bapak-bapak kita sebelumnya. Nama ini (yakni make up) hanyalah kata asing untuk mengungkapkan hiasan orang fasik, wanita-wanita fasik, wanita-wanita eropa. Kemudian disayangkan wanita-wanita kita -kecuali yang dilindungi Alloh- menyerupai mereka dalam berhias dengan riasan ini, riasan yang mempengaruh komunitas islamy”. [Kaset Silsilah Huda wan Nuur 697]

Alasan ini bisa mungkin bisa dijawab oleh dua kelompok sebelumnya, bahwa tasyabbuh terjadi apabila sebuah amalan merupakan kekhususan mereka, yaitu ciri yang mereka dikenal dengannya, artinya tidak dikenal yang memakai pewarna di wajah kecuali wanita kafir atau fasik. Apabila sebuah amalan muncul atau dimulai oleh orang kafir -dan pasti yang mempopulerkan adalah mereka, karena wanita baik-baik tidak akan memajang dirinya di media-media- tidak mesti dikatakan bahwa amalan tersebut merupakan kekhususan mereka. Berapa banyak amalan-amalan dan alat-alat yang muncul dari kafir dan mereka populerkan di media-media, namun para ulama tidak menghukuminya sebagai bentuk tasyabbuh.

Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: “Timbangan tasyabbuh adalah: seorang melakukan penyerupaan dalam kekhususan orang yang diserupai. Tasyabbuh dengan orang kafir adalah seorang muslim melakukan seuatu yang merupakan kehususan mereka. Adapun perkara yang telah berkembang di kalangan muslimin sehingga orang kafir tidak bisa dibedakan dengannya, maka tidak terjadi tasyabbuh.Tidak juga haram karena tasyabbuh kecuali ada unsur keharaman di sisi lain. Apa yang kami sampaikan ini adalah konsekwensi yang ditunjukkan oleh kata (tasyabbuh) ini”. [Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Al-‘Utsaimin 12/290]

Terlebih lagi meletakkan pewarna di tubuh wanita tidak ada larangan secara khusus, bahkan sebaliknya terdapat dalil tentang pemakaian celak di mata, ataupun inai di tangan dan kaki. Kecuali jika model hiasan wajah tersebut nyentrik, ataupun memboroskan harta maka yang seperti ini mungkin bisa digolongkan dalam kebiasaan mereka (orang-orang yang mengabaikan syari’at) karena syari’at ini melarang tindakan berlebih-lebihan, demikian juga jika make up itu dipertontonkan kepada lelaki yang bukan mahram. Tidak boleh bagi seorang wanita muslimah mengambil perkara terlarang sebagai sebuah kebiasaan.

Jawaban kedua, bahwasanya pemerah pipi bukanlah perkara yang baru di kalangan kaum muslimin. Masalah ini dicantumkan di kitab-kitab fiqih ulama terdahulu (sebagaimana telah lewat penyebutannya).

Alasan bahwa hiasan ini (make up) tidak diturunkan Alloh penjelasan tentangnya, mengandung konsekwensi -kalau dicermati- bahwa setiap hiasan yang dipakai wanita mesti ada dalilnya. Yakni hukumnya seperti ibadah yang tidak boleh dilakukan kecuali ada dalil.

Hal tersebut jelas menyelisihi hukum asal akan bolehnya hiasan bagi wanita baik yang dahulu dikenal maupun tidak selama tidak ada faktor lain yang menyeretnya kepada keharaman, sesuai keumuman ayat.

2. Masalah bahaya dan dampak negatif yang ditimbulkan pemakaian make up

Mungkin banyak dari muslimah yang telah mendengar atau mungkin melihat bahaya yang ditimbulkan akibat penggunaan make up, mulai dari jerawat, alergi, iritasi, flek hitam, kelainan pigmen, penuaan dini sampai kulit wajah memerah yang kelihatan terbakar. Tentunya semuanya sepakat bahwasanya wajar perkara ini dihindari akibat kemungkinan munculnya kerusakan tersebut.

Kalau dikatakan, bukankah syari’at ini membolehkan menempuh bahaya yang ringan demi mendapatkan maslahat yang rojih (maslahatnya dominan sehingga kerusakan bisa diabaikan) sebagaimana bolehnya imunisasi walau memiliki kemungkinan menimbulkan efek samping seperti demam dll?

Hal tersebut benar, namun kondisi di atas tidak bisa langsung kita analogikan kepada kerusakan yang ditimbulkan akibat penggunaan make up yang disebutkan. Bahkan sebaliknya, kerusakan yang ditimbulkan justru lebih rojih (kerusakannya dominan sehingga maslahatnya bisa diabaikan) karena -diantaranya- bersifat permanen (seperti penuaan dini, kulit buram, atau kelihatan seperti terbakar) bandingkan dengan manfaat yang hanya bersifat “pelengkap” dan sementara.

Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: “Boleh bagi wanita berhias untuk suaminya dengan berbagai jenis riasan kecantikan yang tidak diharamkan, baik itu pada mata, kedua pipi, bibir atau tempat lain yang menjadi lokasi keindahan dan hiasan.

-Sampai perkataan beliau- akan tetapi telah sampai kepada kami bahwasanya make up membahayakan kulit wajah perempuan, maka dengan kondisi ini harus mengambil pendapat ahli medis dalam masalah itu. Apabila mereka mengatakan: “Ya, make up membahayakan kulitnya walau di masa depan”, maka dalam kondisi ini jangan dipakai”. [Fatawa Nuur ‘Alad Darb kaset 147 side B]

Dalam kesempatan lain beliau Rahimahulloh mengatakan: “Aku telah mendengar bahwasanya make up dan sejenisnya dari bahan kimia, memberikan efek pada kulit walaupun setelah waktu lama dan tidak terlihat dalam waktu dekat. Karena itu wajib menjaga diri dari yang semisal dengan alat rias kimia ini, dengan berkonsultasi kepada orang yang ahli dengan masalah ini yaitu para dokter”. [Fatawa Nuur ‘Alad Darb kaset 366 side A]

Memang kita tidak menutup kemungkinan jika ditemukan make up atau pewarna wajah yang lain yang dikategorikan “aman”, akan tetapi vonis tersebut tentulah mesti merujuk kepada orang yang ahli dalam masalah tersebut, dan tentunya bukan sekedar kata “dokter”, dimaklumi ilmu kesehatan memiliki bidang spesialisasi yang banyak dan para dokter pun tak semuanya terjamin kualitasnya. Satu lagi, perlu diperhatikan kondisi kulit seseorang, karena reaksi yang muncul akibat interaksi kulit dengan bahan kimia berbeda tergandung kondisi kulit.

NASEHATI SAUDARIMU DENGAN CARA YANG BAIK

Akhirnya, disarankan kepada wanita muslimah untuk menghindari pemakaian alat rias kimiawi semacam ini dan beralihlah kepada bahan-bahan alami yang tidak menimbulkan kekhawatiran. Penambahan hiasan dan riasan tak terbatas dengan memanfaatkan efek pewarnaan, tapi kulit yang sehat, hidup dan bercahaya justru menjadi hiasan yang lebih memberikan kesejukan di mata yang menyaksikan.

minyak zaitun dapat mencerahkan wajah
minyak zaitun kosmetik alami

Nasehatilah saudarimu dengan cara yang baik, tak layak sebuah pembenaran mesti berbuntut suatu pertengkaran. Mulailah dari sesuatu yang sama-sama disepakati keberadaannya. Bukankah setiap jiwa menginginkan untuk terhindar dari bahaya yang mengancam masa depannya? Berikan solusi yang baik yang bermanfaat, tidak menyulitkan lagi tidak membahayakan.

Tak jarang, Syaikh kami Yahya Al-Hajury Hafizhohulloh ketika ditanya tentang alat rias wajah yang dipakai para wanita, beliau mengatakan: “Pakailah minyak zaitun”.

سبحنك وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

Darul Hadits Dammaj- Yaman

25 Sya’ban 1434


0 comments